#jack, medan
DPD Gapeksindo Sumut setuju dengan tindakan tegas Wali Kota Medan Bobby Nasution terkait proyek “lampu pocong”. Tetapi yang disayangkan adalah, pernyataan wali kota hanya menyalahkan kontraktor, ini mengganggu rasa keadilan sebagai Asosiasi tempat bernaungnya para perusahaan jasa konstruksi / kontraktor.
“Proses tender sampai pelaksanaan kerja sudah selesai dan telah dibayarkan oleh penguna jasa (pemko) yang semuanya melalui prosedur semuanya. Jangan setelah gagal proyek lampu pocong ini baru inspektorat melaporkan kegagalannya saja, diwaktu pekerjaan sedang berlangsung dimana inspektoratnya..?” ucap Ketua DPD Gapeksindo Sumut Erikson Tobing kepada wartawan, Kamis (11/5/22023).
Sebagai asosiasi, kata Erikson, sudah saatnya memerangi ketidakadilan ini dengan memberikan bantuan hukum kepada kontraktor. Jika Kejari Medan seperti yang dikatakan kadis SDABMBK Topan Ginting ikut menagih anggaran Rp 21 miliar dari proyek yang disebut wali kota total loss, maka Gapeksindo menilai Kejari telah melampaui wewenangnya sebagai eksekutor negara. Kalau tetap ikut melakukan penagihan, Kejari bisa digugat secarapidana atau dilaporkan ke Jamwas Kejagung.
“Kami selaku asosiasi tidak sedang mempermasalahkan kontraktor yang mana, apakah dari asosiasi A atai B. Tetapi kalau ada kontraktor diperlakukan tidak adil maka kami punya tanggung jawab moral membela para kontraktor jika diperlakukan sewenang-wenang. Mana kesalahan yang dilakukan kontraktor, itulah yang harus dipertanggungjawabkannya, jangan sampai menghukum padahal bukan kesalahannya,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Joshua Pangaribuan dari Gapeksindo muda. Dia mengatakan, dunia jasa konstruksi di Sumut sangat carut marut. Hal ini disebabkan motto Kolaborasi hanya sekedar slogan. Padahal dunia jasa konstruksi adalah wali amanah dari asosiasi. “Kenapa wali kota tidak berdiskusi dan berkolaborasi dengan asosiasi untuk perbaikan dunia usaha jasa konstruksi? Kita lihat juga Kadis PU nya tidak memahami kondisi nonteknis yang terjadi. Kalau cerita teknis, kita semua tahu bahwa dalam kontrak itu ada perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, jadi secara teknis saya rasa seharusnya gak ada masalah,” terang Joshua.
Menurut Joshua, yang terjadi adalah, tidak ada kesadaran diri bahwa Medan ini kota bersama, sehingga dunia usaha jasa konstruksi ini hanya dimiliki sebagian pihak saja yang memiliki kepentingan dengan penguasa daerah. “Kalau sudah begitu tinggal tunggu waktu saja, sehingga apa yang sudah dituai selama ini menunjukkan buah telah menunjukkan buahnya,” tegasnya
Erikson Tobing menambahkan, pihaknya sangat heran, bagaimana mungkin bisa dilakukan pembayaran sampai Rp 21 miliar, kemudian di belakangan dikatakan proyek tersebut tidak layak atau proyek gagal. Jika itu yang terjadi, seharusnya yang bertanggung jawab bukan hanya kontraktor, semua pihak terkait mulai saat pemilihan kontraktor/vendor yang dinilai layak melaksanakan pekerjaan serta pengawas pekerjaan ikut bertanggung jawab.
“Kalau kami mencermati kejadian ini, seharusnya wali kota bisa diperiksa KPK, karena semua alasannya tidak masuk akal, sudah seperti kiper sepakbola pula dia, mau buang badan, padahal semua itu tanggung jawab dia. Pengusaha Konstruksi pun perlu ada advokasi hukum, kita punya banyak pengacara handal,” imbuhnya. ***